Hisnindarsyah
Dalam beberapa dekade terakhir, ancaman terhadap keamanan nasional tidak lagi hanya berupa perang konvensional. Ada berbagai ancaman baru yang menuntut peran TNI lebih luas. Seperti ancaman siber dan teknologi. Serangan siber terhadap infrastruktur digital seperti data pemerintah, perbankan, dan sistem komunikasi semakin meningkat. Negara-negara lain sudah memiliki unit siber militer yang kuat, sehingga Indonesia perlu menyesuaikan peran TNI dalam menghadapi ancaman digital. Untuk memperkuat ketahanan siber, salahsatunya perlu melalui legitimasi sehingga diperlukan revisi UU TNI.
Aksi terorisme, baik dalam negara ataupun lintas negara masih menjadi ancaman nyata bagi Indonesia, terutama dari kelompok-kelompok ekstremis. TNI perlu memiliki kewenangan lebih untuk menangani ancaman ini, terutama dalam koordinasi dengan Polri dan lembaga terkait. Alasan berikutnya adalah Indonesia merupakan negara kepulauan dengan perairan luas yang seringkali menjadi sasaran penyelundupan, perompakan, dan pelanggaran wilayah oleh kapal asing. Revisi UU memberikan peran lebih besar kepada TNI dalam mengamankan perairan dan perbatasan negara.
Dinamika geopolitik dan ketegangan di kawasan, juga memperkuat alasan diperlukannya perubahan baru pada UU TNI. Konflik di Laut China Selatan yang terus meningkat, dengan klaim sepihak dari China yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia di perairan Natuna. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia semakin memperkuat militernya, termasuk membangun pangsa pengaruh di Asia Tenggara. Indonesia perlu memastikan TNI memiliki strategi pertahanan yang lebih fleksibel dan kuat untuk menghadapi kemungkinan konflik. Selain itu juga dibutuhkan modernisasi dan reformasi internal TNI. Seperti modernisasi alutsista dan kenaikan batas usia pensiun. Sehingga dengan demikian semakin menambah alasan untuk perlunya memperbaharui UU TNI.
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membawa perubahan signifikan pada beberapa pasal yang dianggap perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tantangan keamanan nasional. Pada pasal 3 yang direvisi, menegaskan kembali kedudukan TNI dalam struktur pemerintahan. Revisi ini menegaskan bahwa dalam penggunaan kekuatan militer, TNI tetap berada di bawah Presiden, tetapi dalam aspek kebijakan strategis, administrasi, dan perencanaan, koordinasi dilakukan melalui Kementerian Pertahanan. Penyesuaian ini bertujuan untuk memastikan bahwa kendali sipil atas militer tetap berjalan, sekaligus memperjelas hubungan antara TNI dan kementerian terkait dalam pengambilan keputusan strategis.
Pasal 7 juga mengalami revisi yang cukup penting, terutama dalam menambahkan tugas baru bagi TNI di luar perang (OMPS). Pada UU TNI sebelum revisi, di dalam ayat 7 terdapat 14 ruang lingkup tugas TNI dalam sektor OMSP. Setelah revisi, terdapat dua penambahan yaitu membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Penambahan ini didasari oleh perkembangan ancaman non-militer yang semakin kompleks dan berpotensi mengganggu stabilitas nasional.
Pertama, ancaman siber telah berkembang menjadi salah satu tantangan utama dalam pertahanan negara. Serangan siber yang menyasar sistem pemerintahan, sektor keuangan, hingga infrastruktur pertahanan dapat melumpuhkan sistem keamanan nasional. Oleh karena itu, keterlibatan TNI dalam menangani ancaman siber menjadi penting, terutama dalam mendukung pertahanan negara dari serangan siber yang bersifat strategis dan melibatkan aktor-aktor asing maupun dalam negeri.
Kedua, pengamanan infrastruktur strategis nasional menjadi krusial mengingat banyak objek vital seperti pembangkit listrik, jaringan telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dan fasilitas energi yang menjadi target potensial dalam situasi krisis atau konflik. Dalam kondisi tertentu, ancaman terhadap infrastruktur ini dapat mengganggu stabilitas nasional dan memerlukan keterlibatan TNI untuk memberikan perlindungan terhadap fasilitas yang memiliki kepentingan nasional.
Ketiga, dalam perubahan pasal 7 ini, penambahan wewenang TNI dalam penyelamatan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri menjadi penting karena adanya perkembangan ancaman global, seperti konflik bersenjata, serangan teroris, penculikan, dan kejahatan transnasional menuntut respons yang cepat dan terorganisir. Beberapa operasi penyelamatan yang pernah dilakukan, seperti evakuasi WNI dari Yaman (2015), Afganistan (2021), dan Sudan (2023), menunjukkan bahwa keterlibatan TNI sangat diperlukan dalam situasi krisis. Namun, tanpa adanya payung hukum yang jelas, TNI sering kali hanya berperan dalam aspek dukungan logistik atau evakuasi terbatas. Saat ini, keterlibatan TNI dalam operasi penyelamatan WNI masih bergantung pada kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dan organisasi internasional. Dengan penambahan kewenangan ini, TNI dapat bertindak lebih cepat dan efektif dalam menangani situasi darurat.
*Penambahan Lembaga melibatkan TNI*
Pasal berikutnya yang mengalami revisi adalah pasal 47. Pada pasal 47 ini cukup memicu perdebatan dan memantik aksi demo. Adanya kesalahpemahan pada pasal ini . Pada revisi pasal ini terdapat penambahan empat lembaga yang dapat diisi oleh perwira aktif TNI tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer. Sebelumnya, Pasal 47 mengatur bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Namun, dengan revisi tersebut, jumlah kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh perwira aktif TNI bertambah dari 10 menjadi 14. Empat lembaga tambahan tersebut adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Penambahan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara TNI dan lembaga-lembaga tersebut dalam menghadapi berbagai tantangan keamanan dan penanggulangan bencana di Indonesia. Bukan penguatan unsur militer di institusi sipil. Namun memang lembaga tersebut membutuhkan keterlibatan personil militer.
Gejolak yang terjadi di masyarakat, salah satu penyebabnya dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman dalam memaknai revisi pasal ini. Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keterlibatan militer dalam sektor sipil semakin meluas serta menyempitnya lapangan pekerjaan di pihak sipil karena formasi lembaga tersebut diisi oleh militer. Namun sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan, karena pemerintah telah menegaskan bahwa perwira aktif hanya akan ditempatkan di bidang yang benar-benar membutuhkan keahlian militer. Kalau dicermati lagi dengan lebih seksama, perubahan pasal 47 ini tidak menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI. UU TNI masih menempatkan supremasi sipil dan tidak menghilangkan aturan penghapusan hak politik TNI.
*Penguatan kesejahteraan prajurit*
Berikutnya adalah revisi pada Pasal 53, yang membahas tentang kesejahteraan prajurit, terutama dalam hal usia pensiun. Dalam revisi terbaru, usia pensiun untuk bintara dan tamtama dinaikkan dari 53 tahun menjadi 55 tahun, sementara perwira tinggi berada di usia 60 hingga 63 tahun. Perubahan ini dilakukan untuk mengoptimalkan pengalaman dan keahlian prajurit yang masih dapat berkontribusi dalam sistem pertahanan negara, serta mengurangi lonjakan jumlah prajurit yang memasuki masa pensiun dalam waktu yang berdekatan.
Sesunguhnya dengan adanya revisi ini, diharapkan pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan TNI bisa lebih efektif, tanpa mengorbankan regenerasi kepemimpinan di dalam tubuh militer.
*) Doktor Managemen Strategi, Magister Hukum Univ patimura,Alumni USM Malaysia
Post a Comment