Dr. dr. Hisnindarsyah 

Dalam era digital yang serba cepat ini, persepsi publik dapat dibentuk hanya dari satu judul berita, tagline, dan hastag media sosial. Framing media adalah cara media menyusun, memilih, dan menyajikan informasi sehingga membentuk cara pandang atau interpretasi tertentu di benak publik terhadap suatu peristiwa, individu, atau isu yang sedang hangat bergulir. Framing memiliki dua sisi, yaitu bisa memperkuat kesadaran sosial, namun juga bisa menyesatkan dan memperkuat stigma. 

Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum dokter, seperti yang terjadi di RSHS Bandung dan Garut, menimbulkan kegaduhan publik. Di tengah maraknya pemberitaan mengenai dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan tenaga medis tersebut, ada satu hal yang perlu kita cermati bersama, yaitu framing media yang menggeneralisasi profesi kedokteran, membentuk citra seorang dokter sebagai predator seksual.

Dengan adanya framing tersebut, maka masyarakat beranggapan bahwa profesi dokter tak lagi aman. Pasien menjadi was-was, terutama saat kondisi mereka tidak sadar sepenuhnya, misalnya saat dalam pengaruh bius di atas meja operasi. Framing semacam ini berbahaya karena merusak persepsi publik terhadap profesi kedokteran.

Tindakan pelecehan seksual memang sangat tidak pantas dan melanggar etika profesi. Perilaku ini patut dikecam dan sudah seharusnya dijatuhi hukuman setimpal. Namun di lain sisi, kita juga perlu mengingat bahwa tidak semua dokter melakukan pelanggaran serupa. Sayangnya, di berbagai berita online dan media sosial kerap kali kita temui frasa negatif pada dokter, seperti : "Dokter bejat! Dokter Cabul! Tenaga kesehatan lakukan pelecehan seksual". Pemakaian frasa negatif yang ditujukan pada profesi secara massif terus-menerus, dapat membentuk opini publik yang menyudutkan profesi dokter secara keseluruhan. 

Satu hal yang mesti kita pahami, pelaku adalah individu, bukan representasi dari seluruh profesi kedokteran. Kejahatan seksual tidak mengenal profesi atau jabatan. Generalisisasi ini merugikan para dokter yang benar-benar menjalankan profesinya dengan integritas dan tanggung jawab.

Selain itu, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter bukan sekedar kesalahan pelaku secara individu. Melainkan juga didukung oleh kelonggaran sistem. Contohnya, dokter & karyawan bisa mengakses ruang pasien tanpa pengawasan yang memadai, penyimpanan obat bius yang kurang ketat, dan sebagainya.

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa sistem juga berperan dalam memberi ruang bagi pelaku penyimpangan. Tetapi mengapa yang dihakimi publik justru hanya institusi pendidikan & profesi? Teori-teori seperti agenda setting dan framing, manufacturing consent, dan crisis exploitation dapat menjelaskan mengapa profesi dokter sering menjadi sasaran framing negatif.

Framing, memilih sebagian aspek realitas dan menonjolkannya untuk membentuk interpretasi tertentu. Dalam kasus ini, interpretasi yang dibentuk adalah : profesi dokter sedang rusak, tidak bisa dipercaya, dan harus dikendalikan. Delegitimasi profesi menjadi justifikasi untuk transformasi sistem.

Framing semacam ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga medis. Sehingga mempengaruhi hubungan dokter-pasien dan pelayanan kesehatan secara umum. Dengan menyebarkan persepsi bahwa profesi dokter saat ini dipenuhi penyimpangan moral, maka pasien menjadi takut untuk melakukan pemeriksaan fisik. Terutama  pemeriksaan pada bagian tubuh yang sensitif.

Framing negatif juga mempengaruhi dalam membuat kebijakan terkait pelayanan kesehatan. Apabila tingkat kepercayaan semakin menurun, tidak menutup kemungkinan untuk dijadikan alat politik oleh sekelompok orang untuk mengganti peran profesi dengan sistem, algoritma, dan protokol birokratis. Sehingga kesehatan yang semestinya dapat dilakukan dengan asas etika dan manusiawi, beralih pada kapitalisasi dan industrialisasi kesehatan.

Framing negatif terhadap dokter juga dapat mempengaruhi akses masyarakat terhadap perawatan kesehatan. Apakah kita menyadari bahwa ketakutan kolektif semacam ini dapat membuat masyarakat enggan mencari pertolongan medis? Apakah kita siap menerima konsekuensi dari ketidakseimbangan informasi yang kita sebarkan? Jika masyarakat tidak percaya terhadap dokter, masyarakat bisa beralih pada layanan kesehatan lain yang belum terpercaya dan tidak ilmiah. Sehingga perawatan yang didapatkan menjadi tidak tepat & kesehatan mereka memburuk.

Yang tak kalah pentingnya, framing ini tentu saja berpengaruh pada kesehatan mental para dokter dan petugas medis lainnya. Dokter yang tidak ikut terlibat kasus pelecehan, menjadi ikutan terdampak mendapatkan stigma negatif. Sehingga mereka ikut mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan depresi akibat tekanan publik dan lingkungan kerjanya.

Untuk mengatasi framing negatif terhadap profesi dokter, perlu dilakukan beberapa hal. Yaitu : perbaikan sistem kesehatan yang lebih baik, peningkatan pengawasan yang lebih ketat, dan peningkatan kualitas pendidikan serta pelatihan, terutama tentang aspek hukum dan etika profesi. Selain itu juga diperlukan ketegasan dan keterbukaan dari institusi medis : Rumah Sakit, Organisasi Profesi, serta Kementerian Kesehatan, dalam transparansi prosws hukum. Serta menegaskan bahwa tidak ada toleransi pada pelanggaran norma, apalagi kasus pelecehan seksual. 

Untuk mengatasi framing negatif ini juga diperlukan upaya membangun literasi publik. Seperti mengedukasi masyarakat bahwa kesalahan satu-dua orang tidak bisa mencerminkan kesalahan keseluruhan profesi. Edukasi tentang hak-hak pasien, prosedur pemeriksaan yang sehat dan profesional, & jaminan keamanan privasi pasien.

Media dan masyarakat perlu berhati-hati dalam membingkai kasus-kasus sensitif seperti ini. Penting untuk menjaga asas praduga tak bersalah hingga ada putusan hukum yang berkekuatan tetap. Selain itu, pemberitaan harus berimbang, memberikan ruang bagi proses hukum berjalan tanpa tekanan opini publik yang berlebihan.

Kasus tragis seperti ini tidak boleh menjadi alat politik untuk menggiring kebencian terhadap profesi dokter. Apabila dibiarkan dapat menimbulkan terjadinya tragedi kolektif, yaitu profesi mulia yang semestinya menyembuhkan justru dilumpuhkan.

Memulihkan kepercayaan publik atas aneka stigma akibat dari framing negatif bukan saja tugas dokter, tetapi juga tanggung jawab bersama untuk menyajikan konten yang berimbang dan tidak terjebak pada generalisasi profesi.

Dengan kita memperbaiki sistem dan membangun kepercayaan, maka sejatinya kita telah berperan dalam menciptakan layanan kesehatan yang lebih baik dan manusiawi.
*) Dosen, Doktor dan Dokter Spesialis,Penulis 12 Buku


0Comments

Previous Post Next Post