Hisnindarsyah
Istilah radikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V( 2016) ada beberapa makna. Pertama bermakna 'secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip)'. Kedua, radikal adalah istilah politik yang bermakna 'amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan)'. Ketiga, radikal juga berarti 'maju dalam berpikir atau bertindak'.
Selain sebagai istilah politik, istilah radikal dipakai sebagai istilah kimia yang berarti gugus atom yang dapat masuk ke berbagai reaksi sebagai satu satuan yang bereaksi seakan-akan satu unsur saja.
Selain itu, KBBI juga membedakan kata 'radikal' dengan 'radikalisme'.
Radikalisme punya tiga arti.
Pertama, 'paham atau aliran yang radikal dalam politik'. Kedua, 'paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis'. Ketiga, 'sikap ekstrem dalam aliran yang dapat dilihat penggunaan unsur kekerasan. Unsur kekerasan ini juga lekat kaitannya dengan terorisme.
Sebenarnya radikal dan radikalisme ini bukan hal yang baru. Hampir sebagian unsur hidup kita , mengenal dan dipengaruhi unsur tersebut. Mulai dari kehidupan bernegara, keluarga, hingga sel-sel tubuh kita.
Dari aspek medis, sel tubuh selalu berusaha berkomunikasi satu sama lainnya. Saling melengkapi dengan peran dan karakternya masing-masing. Kadang saling bertentangan, namun tetap bekerjasama dan berkolaborasi.( Mendoza dkk, 2007)
Teori Hadman (1952) pertama kali membahas tentang radikal bebas ini. Dia menyebut dengan istilah free radical. Sebagai penanda untuk atom yang kehilangan elektronnya. Sifatnya tidak stabil dan berusaha mencari pasangannya.
Sedangkan Hallwel ( 2012) menjelaskan bahwa
dalam satu dibanding miliaran kemungkinan, kadang terjadi perubahan mendadak yang tidak diinginkan. Sel-sel tersebut berubah jadi sulit dikendalikan dan berkembang biak dengan kecepatan luar biasa.
Sel ini lalu menjadi besar dan merebut jatah makanan dan oksigen dari organ lain yang penting untuk kehidupan manusia. Itulah yang dinamakan sel kanker, yang bermula dari aktivitas radikal bebas.
Padahal dalam keadaan normal, sel 'gagal fungsi' ini seharusnya bisa dikendalikan dengan mudah. Karena setiap sel ini seharusnya mati dengan sendirinya saat terdeteksi adanya kegagalan( apoptosis) . Atau jika bentuknya serangan dari luar, maka imunitas kita akan dengan segera menghancurkan dan memakannya.
*Analogi radikal bebas*
Jika dianalogikan dengan keluarga, radikal dan radikalisme sebenarnya bisa dicegah sejak awal. Semisal, melalui pembicaraan di meja makan. Apapun yang kita dengarkan dari orangtua, dalam bentuk petuah maupun nasihat , akan tertanam di dalam diri pikiran. Akhirnya membentuk pandangan kelak saat dewasa.( Zaitunah Subhan , 2015)
Pemikiran radikal seharusnya sejak awal dapat diperbaiki atau dikendalikan. Sebelum terlanjur berkembang dan menciptakan kerugian bagi 270 juta warga negara Indonesia.
Rasa cinta kasih kepada sesama manusia, keinginan untuk menerima perbedaan, saling asah asih dan asuh, hingga empati kepada penderitaan orang lain, bisa ditanamkan sejak dini.
Sebaliknya kehati-hatian dalam mengelola hidup, memperlakukan orang sekitar dalam pergaulan, serta upaya melindungi diri sendiri dan keluarga, juga bisa saja kita tanamkan dari pembicaraan di meja makan.
Sama halnya seperti tubuh kita menekan kerugian akibat radikal bebas.
Membuat sama sekali tidak ada radikal bebas sangat mustahil. Selagi masih menghirup udara yang terpolusi, konsumsi makanan tidak sehat , bernutrisi berlebihan, dan kurang istirahat, maka kemampuan tubuh untuk 'self healing' menjadi berkurang. Inilah awal dari segala penyakit.
Saat penyakit sudah terlanjur terjadi dengan segala komplikasinya, tubuh akan tergantung pada terapi. Tapi tentu bukan itu yang diinginkan dari sebuah hidup yang berkualitas.
Yang perlu dilakukan adalah mengubah gaya hidup. Berolahraga, diet, puasa, shalat teratur, manajemen stress, hingga mengatur jadwal istirahat secara tepat. Tujuannya agar metabolisme tubuh kembali normal, atau setidaknya mendekati normal.
Begitu pula terkait radikalisme.
Saat sebuah teror sudah terlanjur terjadi, bisa saja menemukan pelakunya dengan mudah. Dan menjatuhkan hukuman berat. Tapi bibitnya tetap ada, menjadi penyakit yang sewaktu waktu bisa relaps ( muncul kembali). Terapi yang seharusnya dilakukan adalah mengubah gaya hidup. Dalam hal ini adalah pola pikirnya, ideologinya termasuk dogma ( keyakinannya).
Teroris dapat dididik kembali . Kerusakan bisa direkonstruksi ulang. Tapi korban jiwa dan trauma yang terlanjur terjadi tentunya tidak dapat dikembalikan begitu saja seperti semula, bukan?
Itulah mengapa mencegah lebih baik daripada mengobati.
*Kebenaran diuji*
Pada saat kebenaran masih teruji dengan adanya perwujudan (ontologis) atau dalam bentuk pemikiran (epistemiologis). Maka tidak sulit untuk membenahi kekeliruan yang mungkin terjadi dalam pembentukan pola pikir.
Namun bila sudah sampai tahap aksiologis, saat nilai dan keyakinan yang sifatnya gaib sudah dilibatkan, maka radikalisme sudah sulit untuk diperbaiki.
peran pentimg keluarga merupakan hal dominan dalam menangkal radikalisme. Phlips Ancona (2000) mengatakan bahwa kesadaran dan rasa cinta kepada tanah air harus ditanamkan sejak dini. Melalui pembicaraan-pembicaraan ringan dari orangtua kepada anak-anaknya. Mereka harus sejak awal disadarkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini terlalu berharga untuk dikoyak-koyak hanya karena masalah salah memahami keyakinan.
Elizabeth Hurlock ( 1997) memberikan beberapa saran tentang pemtingnya peran orang tua untuk mencegah masuknya ajaran ekstrem dan radikal pada anak menjadi penting. Dan penulis sintesis saran tersebut menjadi paket standard yang dimodifikasi sesuai dengan jiwa kebhinekaan bangsa Indonesia. Yaitu antara lain:
1. Memberikan pemahaman agama secara benar dan utuh kepada anak.
2. Memperkuat Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam implementasi atau praktik kehidupan sehari-hari.
3. Memberikan pemahaman kepada anak tentang bahaya gerakan radikalisme.
4. Memperlihatkan peran masyarakat sebagai sumber informasi dalam perekrutan anggota ajaran esktrem.
5. Memberikan rasa aman, nyaman, dan menyenangkan kepada anak untuk tinggal di rumah.
6. Menjadi sahabat untuk anak.
7. Mengijinkan anak membuka topik dan pembicaraan soal SARA dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari dengan kontrol kendali Kenusantaraan yang hormat pada keragaman entitas suku dan agama.
8. Mendidik anak untuk kenal etika mengungkapkan pendapat dan berkomentar soal SARA di media sosial.
9. Mengajak anak untuk mengenal ragam budaya dan agama di Indonesia agar mereka mengenal nilai kebhinekaan.
10. Membuka ruang diskusi dengan anak agar mereka mengenal dampak radikalisme terhadap SARA di Indonesia.
Jadi, mulai sekarang perlu dipikirkan.
Materi percakapan apa yang dibincangkan dengan anak-anak saat makan malam nanti?
Karena hal sederhana ini, bisa menjadi bibit penangkal 'Radikal Bebas'.
Sabtu 5.04.2021, Masjid Penyengat saat jauh dari keluarga . Dan mendekatkannya dalam doa.
*) Doktor manajemen strategi
Dokter dosen Hiperbarik FK UHT
Post a Comment