Dua puluh tahun yang lalu, saat masih menjadi perwira muda berpangkat letnan satu, aku mendapat tugas membuat kegiatan bakti sosial. Tahun 1999, belum lama Presiden Soeharto terguling. Diganti Presiden Habibie. Situasi ekonomi belum stabil. Harga harga masih tinggi. Masyarakat masih serba kesulitan. Muncul ide dari pemerintah melalui TNI AL untuk berperan membantu mengatasi kesulitan itu. Dan perintah itu sampailah pada seorang perwira muda berprofesi dokter berpangkat letnan satu.Itulah aku.
Dan aku pun bergerak. Modalnya hanya sabda Rasulluloh SAW " Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. Masih muda belia, 27 tahun, aku bergerak mencari informasi.Dapatlah nama Yayasan Budha Tzuchi. Yang bersedia membantu 100 ribu ton beras di wilayah Jawa Timur. Mereka hanya perlu sarana transportasi. Untuk membawa beras tersebut ke wilayah yang membutuhkan. Di sanalah, aku berkenalan dgn Prof Philips K. Wijaya dan Pak Ferdi dari Walubi. Perwalian Umat Budha.
Persahabatan itu terjalin. Kami kompak untuk bergerak membuat kegiatan sosial. Yang menekankan pada nilai nilai persaudaraan dan toleransi umat beragama. Idenya dicetuskan dalam bentuk bakti sosial. Bisa Baksos kesehatan, baksos sembako murah, baksos buku bacaan ataupun beasiswa pelajar.
Saat itu belum terpikir membuat suatu badan resmi atau yayasan. Aku dan istriku hanya menjadikan kegiatan itu, sebagai sarana refreshing. Yah, sarana untuk bersenang senang.
Mungkin cara kami senang, agak beda dengan orang kebanyakan. Karena biasanya ,orang senang kalau punya mobil baru, rumah bagus, bisa traveling kemana mana. Bisa beli apa saja.
Yah , manusiawi saja kalau kami pun punya keinginan seperti itu. Tapi keinginan itu, tidak sekuat dan senikmat, jika kami melihat orang lain , yang belum pernah merasakan kenyang itu seperti apa. Sekarang dapat merasakan kenyang dan bersyukur.Yang sering sulit membeli obat karena tak punya uang. Saat ini, dapat obat cuma cuma. Gratis plus senyum manis dari dokter dan perawatnya.
Yang sulit membeli beras dan sembako, karena penghasilan pas pas an. Hari ini dapat sembako murah bahkan gratis. Yang sulit membeli buku dan membayar SPP. Dibantu tanpa memandang suku, ras ,kelompok, golongan ataupun agama.
Waktu itu, aku hanya mengikuti rasa senang. Senang melihat orang tersenyum, senang melihat orang tertawa, senang melihat tatapan syukur di mata dan wajah mereka. Yah sebatas senang. Tanpa embel embel keinginan menjadi hebat, populer ataupun merasa bangga.
Dan ternyata kesenangan kami, melihat orang senang karena menikmati apa yang kami miliki, memberi multiple effect. Karena akhirnya toh, dengan membantu mereka, kami bisa traveling. Berjalan jalan, ke berbagai wilayah dan berbagai negara. Rumah mungil kami punya, mobil sederhana pun kami ada. Ternyata silaturahmi dan menyenangkan orang , dengan cari berbagi, tidak memiskinkan kita.
Waktu pun berjalan, persahabatan ku dengan Prof Philips K. Wijaya dan Pak Ferdi, semakin erat. Sampai beliau mrnjadi ketua Walubi Jatim . Entah aku lupa dari golongan Budha Maitreya atau Budha Hinayana. Tapi ide toleransi beragama kami , semakin kuat. Kami mengundang anak yatim untuk buka puasa bersama dan sholata magrib di beberapa Vihara Surabaya . Seperti di Vihara Mahavira Graha Pasar Besar dan Vihara Budha maitreya Jayanti Kupang indah, di tahun 2006 dan 2008. Belum lagi kegiatan baksos kesehatan di berbagai kampung seperti pegirian, sidotopo dan kapas krampung.
Apakah dengan seperti itu, lalu yang datang ke vihara atau ke baksos kami bersama walubi, atau yang menerima beras, disyaratkan masuk agama Budha? Atau tertarik pada agama Budha ,pastinya tidak. Aku dapat sangat yakin menjawab itu. Tapi setidaknya antara muslim dan budhis saling kenal mengenal.Bukankah tak kenal maka tak sayang? kata pepatah. Saling tahu, saling kenal,menimbulkan pemahaman positip. Melenyapkan kecurigaan dan kesalahpahaman.
Pernah ada saudaraku yang beragama muslim, memprotesku karena membawa anak-anak kecil ke klenteng yang banyak patung-patung nya. Patung itu haram, katanya.
Pasti saudaraku muslim ini kurang piknik. Ngga pernah jalan jalan liat candi prambanan dan borobodur. Sedih dan letih memang kalau punya saudara seiman yang dengan gampang mengharam haramkan sesuatu. Tanpa melihat konteks di lapangan. Makanya , sekali kali piknik gitu loh. Hehehe
Aku ajak di datang dan ikut acara itu.
Ternyata kegiatan ada di hall / ruangan tersendiri, yang terpisah dari tempat ibadah. Dan dia bisa menyaksikan sendiri, bagaimana para anak yatim itu diperlakukan bak pangeran dan putri, yang dilayani oleh para pelayan agung. Saudara saudari penganut Budha.
Ketika baksos kesehatan, mereka tidak menonjolkan diri sebagai umat beragama budha. Tspi sebagai bangsa Indonesia yang peduli pada nasib anak bangsa yang kurang beruntung. Hanya kebetulan mereka penganut Budha. Dan ini sudah kami jalankan bersama selama 20 tahun , seusia persaudaraan kami.
Di agama Hindu, aku banyak punya sahabat orabg Bali , yang kebanyakan beragama Hindu. Namun, aku punya seorang sahabat pemuka agama di Bali. Pemimpin umat Hindu di wilayah Tampak Siring. Aku memanggilnya Jro Dalang. Aku tidak paham , tingkat atau strata kependetaan di agama Hindu. Yang aku tahu, dalam setiap aktivitas keagamaannya, dia selalu menyelipkan doa kepada saudara saudaranya yang beragama muslim di Indonesia dan seluruh dunia, agar diberi keselamatan dan perkindungan oleh Sang Hyang Widi Wasa.
Dalam acara maulid, di tampak siring dan tabanan, para pecalang diminta menemani pawai dan karnaval umat Islam , yang sedang merayakan maulid. Dan uniknya, di belakang rumah Jro Dalang, ada aktivitas olahraga silat Setia Hati. Luarbiasa.
Di Rotary Club aku bergabung tahun 1998. Diajak oleh sahabat baikku sampai saat ini: Stephanus Winanda. Dari Rotary Club Surbaya Rungkut, aku banyak mengenal teman teman non muslim , baik Kristen dan Katolik. Pak willy Sutanto, Pak Haryono Gondosoewito, Pak Hendro Gani, Pak Harymurti., Pak irawan Susilo, pak sam sugito Yahya, pak efendi suryonogo adalah sebagian dari saudaraku non muslim di Rotary Club. Mereka tidak pernah berpikir membantu atas dasar agama, ras, suku atau kelompok. Meskipun ,setelah 5 tahun sebagai board di Rotary Club Surabaya Rungkut, akhirnya aku mengundurkan diri karena kesibukanku ke berbagai daerah. Tapi komunikasi ku dengan beliau tetap terjaga dengan baik.
Aku sempat diprotes oleh teman teman muslim, yang mengatakan organisasi itu adalah bagian dari proyek zionis. Dengan santai aku jawab, yang penting mereka tidak mengganggu jadwalku sholat jamaah di masjid, tepat waktu, beres ,dan aku ini dokter. Bukan kontraktor. Sehingga ngga paham dan tidak tertarik dengan proyek proyekan. Hehehe.
Aku pernah datang ke KaliCode. Tahun 2007. Walau tidak bertemu dgn Romo Mangunwijaya. Aku melihat betapa indah dan tertibnya kehidupan penduduk di bantaran kali code Yogyakarta itu. Tak ada paksaan dalam beragama. Ada suara mengaji anak anak di mushola kecil di tiap RW. Ada suara umat yang sedang kebaktian. Ada juga yang topo hening karena menganut kejawen. Semua tenang, nyaman dan damai.
Sedangkan dengan agama Islam. Pastinya tidak terlalu sulit. Namun sayang sekaligus untunglah, sebagai seorang muslim, aku tidak terlalu paham dengan aliran dan mahzab yang ada. Aku cuma ikut nasehat ayahku. Pokoknya ikut Islam Ahlusunnah Wal Jamaah. Titik.
Dan Alloh SWT, menakdirkan aku bertemu dengan Emha Ainun Najib alias Cak Nun di tahun 1992. Saat kuliah di FK Unhas. Bersama saudara dan kakakku dr Aisyah Dahlan di Majelis Taklim Khairun Nisa , aku membuat beberapa pagelaran seni ; Dajjal dan Lautan Jilbab di Makasaar yg cukup fenomenal di masa itu. Naskah dan ide cerita dari Cak Nun. Meskipun sekarang aku sudah jarang berkomunikasi dengan beliau, hampir belasan tahun, tapi diskusi dengan beliau saat itu, terasa masih dekat dan terngiang selalu.
Dan takdir berikutnya, adalah pertemuanku dengan KH. Reza Ahmad Zahid , Lirboyo yang biasa aku panggil gus Reza. Cucu KH. Machrus Ali. Juga dgn KH. Zaki Hazdik cucu KH Hasyim Asy'ari, yang kupanggil Gus Zaki. Sekitar lima tahun yang lalu.
Ayahandaku bersahabat dgn KH Machrus Aly Lirboyo dan Kakek pamanku , masih keluarga dgn KH. Ahmad Sidiq Ponpes Assidiqiyah Jember. Dari beliau beliau inilah ,aku belajar tentang kasih sayang, kesantunan, perilaku adab Rasulluloh SAW. Terutama tentang bagaimana cara mencintai nabi dan bagaimana cara memperlakukan sesama muslim.
Dan episode terkini adalah persahabatanku dengan teman teman komunitas tionghoa, baik muslim dan non muslim. Dalam komunitas bernama Surabaya Friendship Club( SFC). Yang diinisiasi oleh Bapak Boss bro dendy T.Sean - PT. MPM distributor honda dan Ibu nany wijaya- direktur Tabloid nyata JP group.Banyak teman teman yang bergabung disana. Dan melakukan kegiatan persahabatan dan kepedulian sosial.
Ternyata pelajaran yang aku ambil adalah Keberagaman beragama untuk nilai kebaikan.
Agama bukan untuk dipertentangkan atau diperdebatkan. Apalagi dijadikan keabadian suatu permusuhan.
Agama itu mengasihi. Bukan tidak peduli. Agama itu santun. Bukan mencaci maki. Agama itu melindungi.Bukan saling libasa menghabisi satu sama lain.Agama itu pemaaf. Bukan pendendam dan pemarah.
Agama itu membangun silaturahmi. Bukan menpertebal permusuhan dan saling memusuhi.Agama itu cinta. Bukan kebencian dan aroganitas.
Islam di bumi nusantaraku adalah Islam yang santun, welas asih, menerima perbedaan tanpa amarah dan dendam, serta lapang hati untuk memafkan.
Mari kita jaga kerukunan umat beragama dengan saling memaafkan.
Kalau ada yang masih ribet dan ribut tentang keberagaman komunikasi beragama, itu tandanya: Kurang piknik 😂😂😂
Selamat Tahun baru imlek 2571
Gong xi Fa chai
25.01.2020
*)dokter militer, penikmat humor dan seni
Wehhh, mantap Dan...
ReplyDeleteAku sempat nonton Lautan Jilbab. Di DKM ya...
salam dari penulis..mhn ijin menanyakan , dgn siapa ini? Krn lautan jilbab emha itu legenda di masanya. (Admin)
DeletePost a Comment